Acara yang ditayangkan televisi seyogyanya selain berfungsi sebagai sarana informasi, juga menjadi sarana hiburan dan edukasi. Namun tidak semua acara menjalankan fungsi yang "seyogyanya" mereka lakukan. Atas nama rating, banyak produser dan kreator menciptakan berbagai acara yang mengabaikan kaidah-kaidah keetisan, tata-krama ketimuran, dan adat-budaya bangsa kita. Akibatnya lahirlah acara-acara televisi yang tidak saja menjadi acara yang tidak mendidik, namun juga kontroversi karena mengangkat begitu banyak hal yang "tidak pantas" untuk dijadikan tontonan.
Dan acara yang paling sering disorot karena mengandung banyak unsur pelanggaran tata krama dan etika budaya timur adalah acara "reality show" yang memang sedang menikmati kejayaannya di era 2000an ini. Sudah menjadi rahasia umum jika hampir semua "reality show" yang ditayangkan adalah rekayasa. Nyaris semua episode dibuat dengan skenario layaknya sinetron. Bedanya "pemain" dalam acara "reality show" semuanya (kecuali Host atau Pembawa Acara) adalah orang-orang yang tidak dikenal publik dan sering kali bukan dari kalangan artis. Selain itu, perbedaan antara Sinetron dan "reality show" adalah para pemain tidak perlu menghafal naskah. Mereka lebih sering berakting dengan improvisasi, berdasarkan panduan sutradara dan garis besar cerita yang dibuat Tim Kreatif.
Banyak orang mengecam "reality show" sebagai penipuan publik (karena memberi kesan seolah-olah kejadian yang ditampilkan adalah sungguhan). Selain itu, konten "reality show" makin hari makin banyak menampilkan adegan kekerasan, seperti pertengkaran, saling cibir yang berujung pada caci-maki dengan kata-kata "kebon binatang" (disamarkan dengan suara "TIT"), hingga tindakan yang menjurus pada kontak fisik.
Tayangan seperti ini seharusnya menjadi perhatian karena dampak buruknya sangat besar, terutama pada para pemirsa yang belum tahu kalau semua adegan tersebut adalah rekayasa. Fatalnya, apa yang ditayangkan di televisi justru dipandang sebagian kalangan sebagai "role model" dan "tren" yang membenarkan perilaku anarkis mereka di dunia nyata.
Berikut ini adalah 10 tayangan "reality show" Indonesia paling kontroversi karena berisi hal-hal yang tidak mengindahkan nilai-nilai kesopanan, tata-krama, dan kehalusan etika budaya Bangsa Indonesia. Atas nama etika dan tata-krama, maka "reality show" yang saya ketengahkan berikut ini adalah acara yang masa tayangnya sudah berakhir.
Uang Kaget |
Inilah yang terjadi dalam acara Uang Kaget yang sempat populer tahun 2004 - 2009 silam. Dalam acara kreasi Helmy Yahya ini, Sang Host (Helmy Yahya sendiri) berkeliling ditemani oleh segerombolan kru televisi dan polisi, mencari orang-orang yang kurang mampu. Setelah menemukan mereka, Pembawa Acara akan memberikan uang sepuluh juta dan meminta orang tersebut untuk menghabiskan uang tersebut dalam waktu 30 menit. Semua barang yang dibeli dalam waktu tersebut akan menjadi milik peserta, sedangkan jika ada sisa wajib dikembalikan.
Tentu saja peserta akan berusaha "mati-matian" untuk menghabiskan uang tersebut. Mereka berbelanja dengan kalap, tanpa pikir panjang, dan terkesan asal-asalan hanya demi menghabiskan sepuluh juta yang "dihibahkan" pada mereka.
Walau terkesan ada misi sosial di dalam acara ini, namun kita semua harus jujur bahwa acara demikian sangat tidak manusiawi, dan tidak mendidik. Memberi uang pada orang tidak mampu memang bagus. Tapi jika si penerima uang diwajibkan menghabiskan uang yang diberikan dalam waktu sekejab, bukankah sama saja mengajari orang itu untuk berfoya-foya? Bayangkanlah jika Anda diberi sebuah kenikmatan, tapi hanya boleh dinikmati dalam waktu singkat dan terburu-buru. Bagaimana rasanya? Ga enak kan? Nah, itulah yang terjadi. Alih-alih membantu orang miskin agar hidupnya lebih baik, acara tersebut justru membuat peserta yang miskin mengenal hidup mewah dan "memaksanya" untuk berfoya-foya. Apakah setelah mengikuti acara tersebut, hidupnya akan lebih baik? Tidak, karena dia akan berusaha untuk mencari cara agar bisa "berfoya-foya" kembali, seperti saat ikut acara itu.
Dan dapat dipastikan, 99% kekasih Si Pelapor akan tergoda dan "terjerat" jebakan Tim Playboy Kabel. Melihat Kekasihnya tergoda, jelas Si Pelapor panas dan langsung melabrak kekasihnya.
Siapa pun yang menonton acara ini dapat dengan langsung menangkap bahwa ada yang salah dengan acara ini. Cara yang dilakukan Tim Playboy Kabel sama saja dengan mengumpani seekor serigala dengan seonggok daging segar yang gurih dan lezat. Apalagi jauh sebelum acara itu direkam, sang calon korban telah lebih dulu "diintimi" Si Penggoda dengan cara sering diteleponi, diakrabi, dan pada akhirnya diajak ketemuan. Wajar jika imannya goyah. Saat imannya sudah goyah, hati dan hidupnya dihancurkan oleh Tim Playboy Kabel. Disinilah letak ketidaketisannya.
Tujuan acara ini bukanlah untuk "tes", namun lebih terkesan "merusak hubungan" (ya dong... kalau Si Korban tidak mempan dengan godaan Si Penggoda, apa serunya acara ini???). Jika Tim Playboy Kabel merasa hal ini "sah-sah saja" dengan alasan rating, maka ada yang tidak beres dengan Tim Kreatif acara ini ....
Seumur hidup, saya belum pernah mendengar kalau masuk ke rumah - apalagi ke kamar tidur - seseorang tanpa ijin adalah hal yang "wajar-wajar saja" dan dapat diterima secara etika. Bahkan di Amerika Serikat yang terkenal liberal dan bebas sekalipun, jika seseorang masuk ke halaman rumah orang tanpa ijin saja (tidak perduli untuk kepentingan apapun), dapat dikategorikan melakukan pelanggaran (trespassing) - apalagi masuk ke kamar tidur seseorang yang notabene adalah area "private and intimacy" - dan dapat dikenakan sanksi dipenjara atau membayar denda. Jadi sungguh sangat keterlaluan jika masuk ke kamar orang tanpa ijin - dan menggeledah kamar orang tersebut - menjadi hal yang sah-sah saja karena alasan "Hiburan". Kalau sudah demikian, lantas di manakah etika dan tata krama orang2 Indonesia?
Walau sangat kentara dibuat dengan "skenario terstruktur", namun tetap saja acara tersebut sangat tidak etis karena memberi kesan bahwa Masalah Keluarga hanya bisa selesai jika diangkat ke forum umum. Apakah benar? Apakah orang perlu mengumbar-umbar masalah keluarganya di depan orang banyak agar masyarakat dapat membantu menyelesaikannya (atau bahkan berperan sebagai Wasit sekaligus Penonton)?
Jika jeli, maka Anda akan sering lihat bahwa belakangan sudah menjadi hal biasa melihat pasangan pria-wanita beradu mulut di depan orang banyak. Beberapa kali saya memergoki sepasang pria-wanita yang tidak saja beradu mulut, namun juga beradu jotos di depan umum. Anda dapat melihat bahwa masalah keluarga kini sudah bukan lagi masalah internal pasangan suami-istri yang bisa diselesaikan baik-baik secara kekeluargaan, namun sudah menjadi urusan (dan tontonan) publik.
Bagi sebagian orang, mungkin acara ini sangat memicu "adrenalin". Namun, coba perhatikan baik-baik : Ada artis yang bertindak arogan, mencaci-maki orang tanpa sebab, membuat kekacauan yang ga jelas, serta merusak suasana sebuah acara. Memang pada akhirnya semua orang tertawa saat mengetahui tindakan si artis hanyalah "akting". Namun, pikirkan baik-baik dengan akal sehat Anda, apakah lelucon semacam ini benar-benar lucu?
Kalau Anda bilang lucu, cobalah lakukan sendiri : Caci maki teman Anda tanpa alasan yg jelas, lalu 3 menit kemudian Anda katakan kalau tindakan tadi hanyalah sebuah lelucon. Siapa yang bisa tertawa? Sudah syukur kalo teman Anda itu tidak menghadiahi bogem mentah ke wajah Anda.
Tontonan ini memang tujuannya "menghibur". Namun caranya kok tidak pantas dan ga bermutu sekali?
Acara ini memakan korban - Diana Damey Pakpahan - yang kala itu sedang hamil 8 bulan nyaris keguguran setelah terjatuh akibat dikageti oleh Tim Paranoid. Atas kejadian itu, Diana sempat memejahijaukan produser dan stasiun televisi yang membuat serta menyiarkan acara tersebut. Beruntung semua pihak akhirnya bisa berdamai.
Memang sah-sah saja jika kita ingin bercanda, apalagi menguji nyali orang. Tetapi apakah perlu seekstrim ini? Apakah perlu korban berjatuhan dulu, baru Anda sadar kalau selera humor Anda sudah keterlaluan?
Nah, dalam sebuah episode diceritakan ada seorang korban - Piko, yang saat itu Mahasiswa Universitas Indonesia Esa Unggul - yang tiba-tiba didekati oleh polisi (diperani anggota polisi Metro Jaya sesungguhnya). Si korban dicurigai membawa ganja. Saat digeledah, diam-diam sang polisi menanamkan narkoba ke tubuh korban. Begitu narkoba tersebut ditemukan, sang korban langsung digelandang ke polisi dan ditanya macam-macam. Sang korban benar-benar stress dan nyaris depresi.
Akibat tayangan tersebut, Kepala Polda Metro Jaya (kala itu) Inspektur Makbul Padmanegara langsung menyidangkan tiga perwira polisi yang ikut dalam tayangan tersebut (Kepala Polsek Kebon Jeruk KomPol Ahmad Alwi, Wakapolsek Kebon Jeruk Ajun Kompol Hermino, dan Kepala Unit Patroli Polsek Kebon Jeruk Inspektur Satu Sunarjo). Tayangan tersebut dianggap sangat melanggar kode etik kepolisian dan mencemarkan nama baik polisi.
Sejak mencuatnya kasus ini, maka acara tersebut langsung dihentikan penayangan dan pembuatannya.
Terus terang, acara yang diproduseri (lagi-lagi) Helmy Yahya ini jelas-jelas melanggar etika, terutama hak privasi orang. Apakah etis jika Tim Mata-mata menayangkan rekaman investigasi mereka di hadapan pelaku dan pelapor, serta disiarkan secara luas di stasiun televisi? Artinya ada jutaan mata yang turut serta menjadi "saksi" kejadian yang direkam Tim Mata-Mata. Apakah etis mengangkat kesalahan org dan mempublikasinnya ke publik seperti itu? Bukankah itu sama saja dengan "pembunuhan karakter", "pemerkosaan hak asasi", dan "penelanjangan harga diri"? Kalau sudah demikian, apa bedanya acara ini dengan film biru?
Jelas tontonan semacam ini sangat tidak etis karena seolah-olah memberikan pesan bahwa "semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan". Tidak ada hal cerdas yang bisa diambil dari acara ini selain gambaran bahwa tamu-tamu yang diundang tidak lebih dari sekumpulan preman pasar yang sengaja dikumpulkan di sebuah acara televisi untuk saling baku-hantam. Makin kacau acara itu, makin tinggi pula ratingnya.
10. TUKAR NASIB
Satu lagi acara "reality show" lain yang berusia pendek : Tukar Nasib. Acara yang ditayangkan tahun 2009 dengan jumlah tayang 12 episode ini menampilkan dua keluarga (satu keluarga kaya dan satu lagi lagi keluarga miskin), di mana hidup kedua keluarga itu ditukar (yang kaya tinggal di rumah miskin, dan yg miskin di rumah yang kaya).
Jika melihat tujuan acara tersebut sangatlah mulia, di mana Yang Kaya tinggal di rumah Yang Miskin agar dapat merasakan penderitaan yang dialami si miskin. Sedangkan Yang Miskin tinggal di rumah Yang Kaya agar memahami betul perjuangan Yang Kaya agar bisa kaya seperti sekarang.
Sayangnya, acara ini terasa menjadi sangat tidak etis karena menampilkan sosok keluarga miskin sebagai keluarga yang sangat kampungan dan menjadi bahan olokan. Pemirsa bisa lihat bagaimana Keluarga Miskin yang tinggal di rumah Si Kaya begitu kikuk menyikapi kehidupan orang kaya. Coba renungkan, bagaimana mungkin Sang Ayah dari Keluarga Miskin itu disuruh memimpin rapat di kantor si kaya, atau menjadi Manager Marketing yang menjual mobil ke seorang pelanggan? Mereka - yang sama sekali tidak dibekali pengetahuan apapun, terkesan "dilempar begitu saja ke kandang harimau" - hanya bisa tersenyum bingung, sembari ditertawai para staf dan pelanggan. Apakah cara seperti ini etis? Bukankah justru menjatuhkan harga diri Sang Ayah dari Keluarga Miskin tersebut, yang membuatnya minder dan sakit hati? Apakah cara ini patut dilakukan? Di mana etikanya?Di mana hati nurani Tim Kreatif acara ini?
Sebaliknya, saat Keluarga Kaya jadi miskin, tidak digambarkan bagaimana usaha mereka untuk dapat memperbaiki kehidupan bersahaja itu. Mereka hanya meneruskan apa yang biasa dilakukan oleh keluarga miskin itu saja. Jelas banyak kekacauan yang timbul karena itu bukan cara hidup mereka. Akan lebih baik jika ada penggambaran bagaimana Keluarga Kaya menyikapi hidup prihatin itu dengan mengubah cara hidup, cara bekerja, dan cara bergaul dengan lingkungan sekitar, sehingga hidup mereka bisa lebih baik. Saya yakin, banyak Keluarga Kaya yang awalnya berasal dari keluarga biasa saja. Mereka tentu punya cara untuk dapat membuat hidup mereka yang dulu menjadi lebih baik seperti sekarang. Dan cara mereka bisa menjadi contoh yang baik bagi orang-orang yang ingin mengubah nasib mereka. Jika tayangannya dikemas dengan format seperti itu, tentu akan dapat memotivasi orang (terutama dari keluarga golongan menengah ke bawah) untuk dapat belajar mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.
Sayang memang. Acara yang seharusnya menjadi sebuah pembelajaran yang baik, justru hanya menjadi sebuah acara "tukar nasib" yang mentah dengan kekonyolan yang tidak etis (terutama saat menyoroti hidup Keluarga Miskin yang tiba-tiba menjadi "Orang Kaya Baru"). Tidak ada pesan moral dan hal baik yang bisa didapat, selain membuat jurang pemisah Si Kaya dan Si Miskin semakin lebar.
Saat menonton acara Reality Show, mungkin Anda - dan saya - sebagai penonton bisa saja tertawa karena kita sedang memposisikan diri sebagai "Penonton". Namun cobalah sesekali saat menonton, kita memposisikan diri sebagai "Korban" dan "Pelaku" dari acara tersebut. Apakah masih ada senyum dan tawa lepas yang dapat keluar dari mulut kita?